#7. Pondasi Dari Batu

Ibu ceritakan padaku tentang papa, rajukku.

Ibu menoleh dan menatapku erat.
"Dia telah pergi nak, sepuluh tahun lalu."

Iya aku tahu, jawabku. Kalau begitu ceritakan padaku papa waktu ibu dulu kali pertama mengenalnya, rajukku sekali lagi.

Ibu menghela nafas. Ia pun bercerita.
"Papa adalah tukang batu. Tiap hari kerjanya memecah batu. Kecil, sedang, besar mampu ia pecahkan. Kadang dibantu temannya, tapi lebih sering ia bekerja sendiri. Ibu melihatnya waktu ia hendak memecahkan batu sebesar rumah."

Mana ada sih batu serumah, sanggahku. Tapi ibu terus bercerita.

"Ibu juga tak percaya. Jadi kusapa dia dan memintanya berhenti. Tapi sungguh, papamu keras kepala. Kepalanya mungkin seperti batu itu. Ia bilang jangan pikirkan batunya. Tapi pikirkan rumah yang bisa dibangun dari batu itu. Akhirnya batu sebesar rumah itu ia pecahkan, awalnya dari membelahnya besar-besar, kemudian, memecahkannya keping demi keping. Kemudian keping demi keping itu ia susun dan jadilah pondasi."

Wah, pondasi rumah inikah, tanyaku.
Ibu hanya tersenyum mengiyakan.

Kukagumi rumah cita-cita yang kudiami ini.
Ibu berkata lagi.
"Papamu, nak, adalah tukang batu. Dan kita juga adalah keping-keping batunya."

Jakarta, 22 Desember 2011

#6. Pintu

Aku belum berhasil mengunjungimu lagi. Untuk bertanya sekedarnya, sembari memperhatikan tempat kau berbaring. Selalu ada pintu yang memisahkan kita: nyawa.

Aku selalu mengajukan tanya dalam semesta pikiranku sendiri, ada apa di balik pintu pemisah ini. Dapatkah pintu ini terbuka tertutup semaunya. Sesekali lengah, ia terkuak. Tapi seringkali tertutup rapat.

Pintu. Kami tak akan pernah memiliki kuncinya. Entah apa perlu memiliki kunci itu atau tidak. Hanya cerita saja, disyahdan para malaikat memegang kunci, tetapi siapa hendak mencuri? Apa yang akan tercuri?

Mengetuknya sering kulakukan. Hampir setiap hari. Meminta dibukakan. Sekedar menjulurkan kepala, menyungging senyum kepada insan tercinta, itulah cukup. Tapi pintu tetap tertutup. Rapat. Tak bergeming sedikitpun.

Hanya doa yang selalu berhasil menelusup lewat jendela. Bagaimanapun rumah berpintu kuat tetap membutuhkan jendela bukan?

Aku memang belum berhasil mengunjungimu lagi. Namun sudah kutitipkan doa di kaca jendela. Untukmu, untuk semua.

19 Juli 2011

#5. Cladding

Kuperhatikan sekali lagi kalender di meja. Empat belas hari ke depan, membayangkan kudekati dirimu, memperhatikanmu dalam diam, berandai sejauh mana hidup berjalan bila kau ada.

Begitu muda. Begitu rapuh hidup ini. Seperti berjalan di jembatan panjang yang tak akan pernah sampai ke penghujungnya. Sang maut dapat berdiri di depan, samping, atau belakang sambil mengintai bak elang pada korbannya. Menantinya lengah, kemudian merenggut dengan seketika. Tiada. Begitu saja.

Empat belas hari ke depan, sebuah kotak waktu, pertanda akan keberadaanmu yang kini harus kusadari karena kau telah tiada. Siapa yang kelak akan mengingatmu? Mungkin hanya ibu dan diriku.

Mencabuti satu demi satu rumput di dadamu. Berupaya mengusir panas terik dari pembaringanmu. Inilah yang tampak dalam rumahmu yang sekarang dan kelak semua kita:

Dua kali satu meter persegi. Minimalis tanpa perabot. Orang boleh menyebutnya rumah masa depan, bagiku sama saja, pekuburan.

Jakarta, 5 Juli 2011

#4. Facade

Pada malam itu, kematian datang menemuiku.

"Akulah kematian," sapamu.
Aku mengangguk, kubilang kukenal ia.

Ia tampak heran.
"Darimana kau kenal aku?"

Maka kukatakan, ia kukenal saat kujabat tangan papaku sebelas tahun lalu.
Saat itu tak ada bedanya jabatan papa. Sama eratnya. Sama kuatnya. Hanya bedanya, papa tak lagi berkata-kata, ia tak lagi bernyawa.

Ia menggangguk.
"Itu memang aku."

Lalu kukatakan lagi, masihkah ia ingat saat hadir dua tahun lalu. Saat itu tak ada jabat tangan. Aku tersudut di ruangan. Membacakan dengan lantang, rima-rima sajak Daud. Menekur sendirian huruf demi huruf, mencoba menahan isak tangis dan serak suara. Menatap sesekali ke tubuh kakakku yang lemah dan lelah.

Lalu kematian datang seolah menepati undangan. Tepat ketika huruf terakhir kulafalkan, ia menepuk bahu kakakku, mengajaknya pergi. Ke keabadian, ia berucap seraya pergi bersamanya. Begitu saja. Tak menanti jawabanku.

Ia mengangguk lagi.
"Itu memang aku."

Aku beranikan diri menatapnya.
Karena ibuku kah ia datang, tanyaku.

Kematian mengangguk.
"Tapi bukan sekarang, kelak. Tunggulah, jangan kemana-mana."

Aku gantian mengangguk.
Tak beranjak.
Karena kehabisan kata-kata.


1 Juni 2011

#3. Berawal dari debu

Sejatinya aku ini debu. Berawal dari debu.

Ketika membeku, menjadi logam tuangan, dan gumpalan tanah berlekat-lekatan.
: Terang Ayub padaku. Aku mendengarkan dengan sayu.

Demikian juga selalu kuingat nas itu:
Sebab Dia sendiri tahu apa kita. Dia ingat, bahwa kita ini debu.

Kucoba genggam debu di tanganku.
Selalu luruh, tak tersentuh.
Lalu terbang ditiup angin senja.

Demikianlah debu. Itu aku yang kini terhampar di hadapan. Mikro. Tak kasat mata. Cuma menyesak ke dada. Entah untuk apa.

Debu, betapa rentan awal hidup ini.



Akhir Mei 2011
 

#2. Sebuah Pertanyaan Panjang

Hidup sampai hari ini adalah sebuah pertanyaan panjang, tanpa henti, tanpa titik, dan melulu koma.

Betapa sering lelah bergayut-gayut di pundakku, tetapi jawaban harus selalu dicari. Dalam siang. Malam. Temaram hingga gulana. Meski tangan terus mengapai, merapal doa mencari pegangan, tak jua jawaban atas pertanyaan ditemukan. Hidup, demikian ia, selalu menuntut jawaban.

Kupandang kematian dengan indah. Mulia. Pada akhirnya kita ke sana. Ke seberang, tempat dimana ada atau tiada tidaklah begitu penting. Tempat kepastian jawaban atas semua pertanyaan. Tempat jiwa berpulang pada ke haribaan. Jarakku dengan kematian begitu dekat, tetapi jauh.

Sekali lagi aku hidup. Melawan rencanaku. Selagi lagi aku hidup untuk mencari jawaban atas pertanyaan panjang.

Mengapa dia? Mengapa mereka?

Puisi-puisi yang menitik dari hujan deras.
Tempat kata-kata terburai dari langit.
Menyemai sedih di pelupuk mata.
Tanpa henti.

Mengapa?
Hidup sampai hari ini adalah sebuah pertanyaan panjang, tanpa henti, tanpa titik, dan melulu koma.



Akhir Mei 2011

#1. Rencana

Rencana telah disusun. Kematian yang kukehendaki. Pada umur dewasa, saat mentari meliuk di tenggara, angin tak berhembus kemana-mana, telah ditetapkan kepergianku melawat ke kegelapan semata. Sendiri. Tak bersamamu. Kutulis namaku sendiri di epitaf. Amin.

Kuhembuskan keinginan kematianku yang pertama dari yang lain. Dalam kedipan, semoga putus riwayat dengan kefanaan ini. Tetapi masalah mendera. Bukan aku yang mati. Bukan aku yang sekarat di tempat tidur berseprai putih itu. Bukan aku yang berpacu dengan waktu.

Tapi justru aku berdiri memegang tanganmu. Aku tak terpejam menatap sinar hidupmu yang menghilang. Aku terus mendaraskan wahyu di telingamu. Aku justru hidup sampai hari ini.

Ini rumusan pertama: percuma menyusun rencana.


Mei 2011